7 Fakta Menarik Tugu Jogja yang Tidak Banyak Orang Tahu
Banyak yang mengatakan bahwa berkunjung ke Jogja tanpa melihat Tugu Jogja akan sia-sia. Bahkan hanya melintasinya, mengambil foto, dan mendokumentasikannya sudah lebih baik daripada tidak sama sekali. Karena Tugu Jogja adalah landmark kota yang sangat penting, memiliki nilai historis dan simbolisme budaya yang tinggi. Tidak heran jika Tugu Jogja menjadi pusat kegiatan sosial dan budaya masyarakat Jogja serta menjadi daya tarik utama bagi pariwisata.
Tugu Jogja (sumber: tripadvisor.co.id)
Sebelum mengunjungi Jogja, penting untuk mencari tahu fakta menarik seputar Tugu Jogja. Mengetahui lebih banyak tentang sejarah, arsitektur, dan makna simbolisnya akan memberikan pengalaman yang lebih dalam saat melihatnya secara langsung. Dengan begitu, kunjungan Anda akan lebih bermakna dan memberi kesempatan untuk lebih menghargai keindahan dan kekayaan kultural yang dimiliki oleh Tugu Jogja.
Berikut ini 7 fakta menarik tersebut:
Simbol keabadian
Tugu Jogja tidak hanya menjadi lambang kejayaan dan kemunduran kesultanan, tetapi juga melambangkan keabadian seni, budaya, dan semangat masyarakat yang terus berkembang di Yogyakarta. Sebagai penanda sejarah yang megah, Tugu Jogja menyimpan cerita-cerita berharga tentang perjalanan panjang kota ini, dari masa lalu hingga masa kini. Setiap detilnya mencerminkan warisan budaya yang kaya dan keinginan yang teguh untuk mempertahankan dan menghormati tradisi, sambil terus membuka diri terhadap inovasi dan perkembangan zaman.
Dulunya bernama Tugu Golong Gilig
Tugu Golong Gilig adalah cikal bakal Tugu Jogja saat ini. Nama tersebut diambil dari bentuk aslinya, di mana tugu berbentuk silinder (Gilig)) dengan puncaknya yang bulat (Golong), mencerminkan makna dan sifat dari keberadaan tugu tersebut.
Tugu Jogja tahun 1940 (sumber: id.pinterest.com)
Pada tahun 1755, Sri Sultan Hamangku Buwono I, yang juga merupakan pendiri Keraton Yogyakarta, membangun Tugu Jogja. Bangunan ini memiliki nilai simbolis yang tinggi karena menjadi penghubung antara Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi, dengan sifatnya yang magis. Pada awalnya, Tugu secara jelas mencerminkan semangat Manunggaling Kawula Gusti, yakni semangat persatuan antara rakyat dan penguasa dalam melawan penjajah. Desain Tugu, dengan tiang berbentuk silinder dan puncak bulat, menunjukkan gambaran yang jelas akan semangat persatuan tersebut, serta berfungsi sebagai patokan arah saat Sri Sultan Hamangku Buwono I bermeditasi menghadap Gunung Merapi. Pada saat awal pembangunan, Tugu memiliki ketinggian sekitar 25 meter, dengan bentuk silinder yang meruncing ke atas, dilengkapi dengan pagar melingkar di bagian dasarnya.
Dibangun ulang oleh Belanda
Pada tahun 1889, Tugu mengalami perubahan besar ketika pemerintah Belanda melakukan renovasi menyeluruh. Bangunan Tugu dibangun kembali dengan bentuk persegi, di mana setiap sisinya dihiasi dengan semacam prasasti yang mencatat mereka yang terlibat dalam renovasi. Perubahan ini mengubah Tugu dari bentuk aslinya yang bulat menjadi kerucut yang lebih runcing. Sejak saat itu, Tugu dikenal sebagai De White Paal atau Tugu Pal Putih, dengan ketinggian sekitar 15 meter, lebih pendek dari bentuk sebelumnya sekitar 10 meter.
Pada tanggal 3 Oktober 1889, Tugu Pal Putih diresmikan saat Sultan Hamengku Buwana VII memerintah. Ada indikasi bahwa desain baru ini mungkin merupakan upaya Belanda untuk menghapus simbol kebersamaan antara raja dan rakyat yang terdapat pada desain tugu sebelumnya, seperti dilaporkan oleh laman Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kota Yogyakarta.
Menjadi Cagar Budaya
Bangunan Tugu Yogyakarta telah dinyatakan sebagai Cagar Budaya melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM. 25/PW.007/MKP/2007. Langkah ini mengakui nilai sejarah, arsitektur, dan kebudayaan yang penting dari Tugu Jogja. Sebagai simbol kebanggaan dan warisan budaya, penetapan tersebut memastikan perlindungan, pelestarian, dan pengembangan berkelanjutan terhadap Tugu Jogja. Keputusan ini menegaskan komitmen untuk memelihara kekayaan budaya Indonesia, serta memperkuat identitas dan keberlangsungan warisan kota Yogyakarta untuk generasi mendatang.
Desain arsitektur yang menawan
Tugu Jogja memukau dengan arsitektur yang kaya simbolisme. Bangunan ini terdiri dari beberapa tingkat, yang masing-masing melambangkan tahapan dalam ajaran kebudayaan Jawa. Struktur multi-tingkat ini menggambarkan kosmos alam semesta dalam keyakinan tradisional, menciptakan kesan bahwa setiap bagian memiliki makna mendalam. Melalui desainnya yang megah, Tugu Jogja bukan hanya sebuah landmark fisik, tetapi juga sebuah monumen budaya yang mengabadikan warisan dan nilai-nilai kearifan lokal. Dengan demikian, Tugu Jogja tidak hanya menjadi sebuah struktur bangunan, tetapi juga sebuah cermin dari identitas dan keberlanjutan budaya Jawa.
Lokasi sentral tugu jogja
Tugu Jogja, dengan megahnya, menjulang di persimpangan empat jalan utama Yogyakarta: Jalan Margo Utomo, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Pangeran Mangkubumi, dan Jalan A.M. Sangaji. Sebagai landmark yang klasik dan ikonik, Tugu Jogja bukan hanya sekadar titik orientasi, melainkan juga simbol kebanggaan bagi warga setempat. Lokasinya yang strategis menjadikannya sebagai pusat perhatian di kota ini, dan menjadi titik awal yang sempurna untuk menjelajahi keajaiban Yogyakarta. Dengan berbagai atraksi wisata yang berdekatan seperti Jalan Malioboro, Keraton Yogyakarta, Titik Nol Kilometer, Taman Sari, Taman Pintar, dan Pasar Beringharjo, Tugu Jogja adalah destinasi utama bagi para wisatawan yang ingin merasakan pesona sejarah, budaya, dan keindahan Yogyakarta.
Perempatan Tugu Jogja (sumber: wisatahappy.com)
Pusat aktivitas sosial dan kegiatan malam hari
Tugu Jogja kerap menjadi pusat aktivitas sosial dan budaya di Yogyakarta. Di sekitarnya, sering digelar berbagai acara seperti konser musik, pameran seni, dan kegiatan masyarakat lainnya. Tempat ini menjadi simbol kebanggaan bagi warga Jogja, tidak hanya sebagai landmark, tetapi juga sebagai tempat berkumpul yang berarti bagi komunitas lokal. Dengan arsitektur ikoniknya yang menawan, Tugu Jogja bukan hanya menjadi tempat bersejarah, tetapi juga sarana untuk memperkuat ikatan sosial dan budaya di antara penduduk kota ini. Sehingga, Tugu Jogja tidak hanya menjadi monumen fisik, tetapi juga jantung kehidupan sosial Yogyakarta.
Di malam hari, Tugu Jogja menjadi sorotan yang menakjubkan dengan pencahayaan yang mempesona. Atmosfer yang magis dan hangat menciptakan panggung yang ramai dengan kegiatan bagi warga lokal dan wisatawan. Dermaga kuliner di sekitarnya menawarkan ragam hidangan lezat, sementara penjual kaki lima dan angkringan menjajakan berbagai barang dan jajanan khas. Tugu Jogja tidak hanya menjadi pusat budaya, tetapi juga pusat kegiatan ekonomi yang hidup di malam hari, menambah pesona kota yang tidak pernah tidur.