Mengenali Ki Hajar Dewantara, Sosok Bapak Pendidikan Indonesia Asal Yogyakarta
Ki Hajar Dewantara, atau lebih dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, merupakan seorang aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia yang meninggalkan warisan berharga dalam bidang politik dan pendidikan. Dalam perjalanan hidupnya, Ki Hajar Dewantara berhasil meraih penghargaan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1959 dan menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1950.
Namun, di balik kesuksesannya dalam karier politik dan pendidikan, tokoh ini memiliki nama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ia menghembuskan nafas terakhir di Yogyakarta pada 26 April 1959, pada usia 69 tahun. Ki Hajar Dewantara memberikan pengabdian sepenuh hati untuk memajukan dan mengubah dunia pendidikan di Indonesia. Salah satu contoh dedikasinya adalah berdirinya Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, yang bertujuan memberikan kesempatan pendidikan bagi orang pribumi pada masa itu.
Ki Hajar Dewantara (sumber: liputan6)
Selama berkutat dalam bidang pendidikan, Ki Hajar Dewantara dikenal dengan semboyan-semboyan yang ikonik dan masih terus dijadikan pedoman hingga kini. Semboyan Taman Siswa, yaitu "Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani," mencerminkan prinsipnya dalam pendidikan, yang berarti "Di depan memberi contoh, Di tengah memberi semangat, Di belakang memberi dorongan." Semboyan ini hingga sekarang tetap menjadi landasan bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Warisan Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh nasional juga masih diingat dan dibahas dalam beberapa mata pelajaran di sekolah-sekolah. Sosok Bapak Pendidikan Nasional ini masih menjadi inspirasi bagi banyak orang, dan peran serta kontribusinya dalam mengembangkan sistem pendidikan di Indonesia tak terlupakan. Dalam mengenang sosok pahlawan yang luar biasa ini, semoga semangatnya dalam memajukan pendidikan terus menginspirasi generasi penerus untuk mencapai prestasi dan perubahan positif di tanah air.
Ki Hajar Dewantara (sumber: wikipedia)
Profil Singkat Ki Hajar Dewantara: Pahlawan Pendidikan Indonesia
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, yang lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, merupakan seorang aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi di zaman penjajahan Belanda.
Lahir di Pakualaman pada tanggal 2 Mei 1889, beliau meninggal di Jogjakarta pada 26 April 1959, dalam usia 69 tahun. Hari kelahirannya saat ini diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional di Indonesia.
Pendidikan awalnya ditempuh di ELS (Europeesche Lagere School), sebuah sekolah dasar pada zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia. Namun, setelah itu, ia melanjutkan ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), yaitu sekolah pendidikan dokter di Batavia pada masa penjajahan Belanda, tetapi beliau tidak dapat menyelesaikannya karena sakit.
Selama perjalanan karirnya, Ki Hadjar Dewantara bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar. Selain itu, ia juga aktif dalam berbagai organisasi sosial dan politik di Indonesia, seperti Boedi Oetomo dan Insulinde.
Tulisan paling terkenal beliau pada masa itu adalah, "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga." Namun, kolom yang paling menggema dari Ki Hadjar Dewantara adalah "Als ik een Nederlander was" yang artinya, "Seandainya Aku Seorang Belanda."
Ki Hajar Dewantara (sumber: kompasiana)
Perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam Membangun Dunia Pendidikan
Ki Hajar Dewantara telah memberikan dedikasinya yang luar biasa dalam dunia pendidikan, yang terbukti dengan pendirian Perguruan Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922. Perguruan ini memiliki fokus yang kuat dalam mendidik rasa kebangsaan pada para peserta didiknya, dengan tujuan agar mereka mencintai bangsa dan tanah airnya serta berjuang untuk meraih kemerdekaan.
Selain itu, di bidang pers, Ki Hajar Dewantara menganggap majalah dan surat kabar sebagai sarana yang sangat penting untuk menyebarkan cita-citanya kepada masyarakat. Oleh karena itu, beliau menerbitkan brosur dan majalah "Wasita" (1928-1931), kemudian dilanjutkan dengan penerbitan majalah "Pusara" (1931). Tidak hanya itu, Ki Hajar Dewantara juga menghasilkan majalah "Keluarga" dan "Keluarga Putera" pada tahun 1936.
Di ranah seni, Ki Hajar Dewantara juga membuat buku metode nyanyian daerah Jawa yang berjudul "Sari Swara," yang diterbitkan pada tahun 1930 oleh JB. Wolters. Sebelumnya, pada tahun 1926, beliau menciptakan lagu/gendhing Asmaradana yang diberi nama "Wasita Rini," khusus ditujukan untuk para anggota Wanita Tamansiswa.
Melalui upaya-upaya ini, Ki Hajar Dewantara telah menginspirasi dan memberikan kontribusi besar dalam pembangunan dunia pendidikan, pers, dan seni di Indonesia. Dedikasinya yang tak kenal lelah telah membuka jalan bagi generasi mendatang untuk menghargai nilai-nilai kebangsaan, mencintai tanah air, serta berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Warisan perjuangannya tetap menginspirasi hingga kini dan menjadi tonggak penting dalam sejarah pendidikan Indonesia.
Ki Hajar Dewantara (sumber: kompas.com)
Kisah Pengasingan Ki Hajar Dewantara: Dedikasi Tanpa Batas
Sebagai seorang aktivis pergerakan yang tidak asing dengan dunia politik, Ki Hajar Dewantara pernah mengalami pengasingan ke Pulau Bangka. Meskipun terpisah dari tanah air, semangatnya tidak pernah padam, dan bahkan selama masa pengasingannya, ia tetap aktif bersosialisasi dengan organisasi pelajar asal Indonesia, yaitu Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Pada tahun 1913, Ki Hajar Dewantara mendirikan Indonesisch Pers-bureau, sebuah kantor berita Indonesia. Di sinilah ia memulai perjuangannya untuk mewujudkan cita-citanya dalam memajukan pendidikan masyarakat Indonesia.
Keberhasilan lain yang mengukir prestasi di perjalanan hidupnya adalah ketika ia meraih ijazah pendidikan bergengsi di Belanda yang dikenal dengan nama Europeesche Akta. Ijazah ini membuka pintu bagi Ki Hajar Dewantara untuk mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Indonesia, mengukir jejak penting dalam sejarah pendidikan tanah air.
Pada usia 40 tahun, Ki Hajar Dewantara dengan tulus mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara dan menghilangkan gelar kebangsawanan dari depan namanya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar beliau dapat lebih dekat dengan rakyatnya tanpa dibebani oleh gelar yang mungkin memisahkan dirinya dari masyarakat.
Kisah perjuangan dan pengabdian Ki Hajar Dewantara yang tak kenal lelah menjadi inspirasi bagi banyak orang, dan dedikasinya dalam memajukan pendidikan serta semangat untuk dekat dengan rakyatnya terus menginspirasi generasi-generasi berikutnya. Sebagai salah satu tokoh pahlawan nasional Indonesia, warisan perjuangannya terus hidup dan menjadi simbol penting dari semangat kebangsaan dan cinta tanah air.
Bakpia Kukus Tugu Jogja, oleh-oleh khas dari Yogyakarta, selalu mendukung kisah inspiratif Ki Hajar Dewantara dalam membangun pendidikan di Indonesia. Bagi para pelajar atau mahasiswa yang merantau ke Jogja untuk menimba ilmu, Bakpia Kukus Tugu Jogja menjadi oleh-oleh khas yang selalu mereka bawa pulang ke kampung halaman. Nikmati harmoni di antara cita rasa kuliner dan keindahan pendidikan yang tak terpisahkan, hanya di Jogja!